Pengertian Asbab Wurud Al Hadits
Kata Asbab adalah
bentuk jamak dari kata Sabab (Arab: Asbab
= sebab). Menurut ahli bahasa diartikan dengan “Al Habl” (tali) yang menurut lisan arab berarti
“saluran” yang artinya segala sesuatu yang menghubungkan satu benda ke benda
yang lainnya. Para ahli istilah memaksudkannya sebagai segala sesuatu yang
mengantarkan pada tujuan.
Ada juga yang
mendefinisikan dengan, “jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa adanya
pengaruh apapun dalam hukm itu.”
Adapun arti wurud
(sampai, muncul) adalah sebagai berikut:
Para ahli mengatakan
bahwa al-wurud berarti “air yang memancar, atau air yang mengalir”. Dalam
pengertian yang lebih luas, As-Suyuthi memaparkan pengertian asbab wurud
al-hadits dengan, “Sesuatu yang membatasi arti suatu hadits, baik berkaitan, dengan
arti umum atau khusus, mutlak atau muqqayad, dinasakhkan, dan seterusnya, atau
suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadits saat kemunculannya.”
Dari pengertian asbab
wurud al hadits seperti di atas, dapat disimpulkan pengertian ilmu Asbab
Wurud Al Hadits, yakni suatu ilmu
yang membicarakan sebab-sebab Rasulullah SAW menuturkan sabdanya dan saat
beliau menuturkannya, seperti sabda Rasulullah SAW tentang suci dan
mensucikannya air laut, yaitu “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”
. Hadits ini dituturkan oleh Rasulullah ketika seorang sahabat yang sedang
berada di tengah laut mendapatkan kesulitan untuk berwudhu.
Urgensi Asbab Wurud Al
Hadits terhadap hadits sebagai salah satu jalan untuk memahami kandungan
hadits, sama halnya dengan urgensi Asbab
Nuzul Al Qur’an terhadap Al Qur’an. Penting diketahui, karena ilmu ini menolong kita
dalam memahami hadits, sebagaimana ilmu Asbabu Nuzul menolong kita dalam
memahami Al-Quran.
Tidak semua hadits mempunyai asbabul
wurud, sebagian hadits ada yang mempunyai asbabul wurud khusus, tegas dan jelas
na.mun sebagain lainnya tidak. Untuk
kategori pertama mengetahui asbabul wurud mutlak di perlukan agar terhindar
dari kesalafahaman dalam menangkap maksud hadits
Faedah mempelajari Asbab Wurud Al Hadits
Dari definisi yang telah diuraikan di atas, dapat diketahui
faedah-faedah mempelajari Asbab Wurud Al Hadits,.yakni membatasi arti suatu
nash hadits dalam segi-segi berikut ini:
a.
Takhshish al-’ Am (Mentakhsiskan (mengkhususkan) arti yang umum)
Ini terlihat dalam hadits dibawah ini:
“Pahala orang yang shalat dengan duduk, setengah
dari shalat orang yang berdiri”.
Makna yang terkandung dalam hadits ini bersifat
umum, untuk semua orang yang shalat. Padahal kalau kita lihat sebab-sebab
lahirnya hadits tersebut melalui riwayat ‘Abdullah Ibnu ‘Umar yang artinya:
“Kami memasuki kota Madinah, dan secara mendadak
kami diserang perasaan letih yang demikian hebat. Maka sebagian besar dari kami
shalat di tempat shalat kami masing-masing dengan duduk. Kemudian keluarlah Rasulullah
SAW di terik matahari yang menyengat itu, sementara orang-orang tetap shalat
ditempatnya masing-masing dengan duduk. Lalu beliau pun bersabda: “Pahala orang
yang shalat dengan duduk setengah dari pahala orang
yang shalat dengan berdiri.”
Dari hadits ini
jelas bahwa hadits tersebut mengandung maksud khas yang ditujukan kepada mereka yang mampu berdiri.
Sejalan dengan
itu, ada hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin Samurah, ia
berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW shalat dengan duduk hanya disaat
menjelang wafat beliau”.
Hal serupa itu,
kita temukan pula pada hadits Nabi yang berkenaan dengan pelarangan beliau
terhadap menyewakan ladang-ladang, yang kalau tidak telusuri sebab-sebab
munculnya hadits ini, niscaya kita tetap menetapkan hukum umum pada hadits
tersebut, dan ini pasti akan membuat susah semua orang.
Hadits yang
dimaksud diatas, adalah diriwayatkan oleh Ahmad dari Urwah Ibn az-Zubair, ia
berkata:
Zaid bin Tsabit
berkata: Semoga Allah mengampuni Rafi’ bin Khudaij, saya, Demi Allah, adalah
orang yang lebih tahu tentang hadits itu. Sesungguhnya telah datang dua orang
yang habis berkelahi kepada Rasulullah SAW. Maka beliau pun lalu berkata:
“Kalau demikian kalian, maka janganlah kalian
menyewakan ladang-ladang”.
b.
Taqyid al-Muthlaq (Membatasi arti yang mutlak)
Ini dapat ditemukan dalam hadits berikut:
“Barangsiapa merintis perbuatan yang baik, lalu
diamalkannya, dan diamalkan oleh orang-orang yang sesudahnya, maka ia akan
memperoleh pahala untuk itu, ditambah pula dengan pahala orang-orang yang
mengamalkan sunahnya itu sesudah ia, tanpa dikurangi barang sedikit pun. Dan
barangsiapa merintis perbuatan jahat, lalu ia kerjakan, dan dikerjakan pula
oleh orang-orang sesudahnya, maka ia akan memperoleh dosa untuk itu, ditambah
dengan dosa-dosa yang melakukan perbuatan itu sesudahnya, tanpa dikurangi
sedikit pun.
“Sunnah” (perbuatan) yang dimaksud hadits tersebut
di atas, baik sifatnya baik maupun buruk, adalah bersifat mutlak, mencakup
perbuatan-perbuatan yang memiliki nash landasan hukum dalam ajaran agama dan
yang tidak ada landasan hukumnya. Lalu sebab-sebab munculnya hadits ini
menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “sunnah”(perbuatan) dalam hadits
tersebut adalah perbuatan-perbuatan yang ada nash-nya dalam Islam.
c.
Tafshil al-Mujmal (Merinci yang mujmal
(global))
Ini dapat ditemukan dalam hadits yang dikeluarkan
oleh Bukhari dan Muslim dari Anas, ia berkata: “Rasulullah memerintahkan kepada
Bilal agar menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqomah (qamat).
Manthuq(redaksi) hadits ini tidak sesuai dengan
kesepakatan para ulama tentang jumlah takbir yang empat kali, dan dua kali
dalam iqamat.
Akan tetapi setelah kita temukan sebab-sebab
munculnya hadits ini yang diperoleh dari riwayat Abu Daud dalam sunan-nya, dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya dari hadits ‘Abdullah bin
Zaid maka menjadi jelaslah persoalannya.
Jadi setelah kita temukan sebab-sebab munculnya
hadits ini, nyatalah bahwa kandungan artinya bersifat mujmal (global), serta menunjukkan prinsip yang dipegangi para
ulama, dalam pandangan mereka tentang mengulang takbir empat kali dalam adzan,
dan dua kali dalam iqamat.
d.
Menentukan persoalan “naskh” dan
menjelaskan nasikh dan mansukh
Hal seperti ini ditemukan dalam hadits sebagai
berikut:
“Imam itu untuk diikuti, oleh sebab itu janganlah
kamu sekalian mendahuluinya. Jika ia takbir, maka takbirlah kamu sekalian, dan
jika ia ruku’,ruku’ pulalah kalian. Dan manakala ia megucapkan “sami’allahu
liman hamidah” maka ucapkanlah:” Allahumma Rabbana lakal hamd”. Lalu jika ia
sujud, maka sujudlah kamu sekalian, dan kalau ia shalat dengan duduk, maka
shalat pulalah kamu sekalian dengan duduk”.
Tentang hadits tersebut di atas, Imam Syafi’i
berpendapat bahwa hadits ini dihapus
(mansukh) oleh hadits lain yang diterima dari Aisyah yang menyatakan bahwasanya
Rasulullah SAW shalat bersama kaum Muslimin pada saat beliau sakit menjelang
wafatnya dengan duduk, sedangkan kaum Muslimin shalat dengan berdiri”.
Padahal Asbab Wurud Hadits ini jelas meniadakan
hukum naskh (penidakberlakuan) pada
hadits tersebut.
Imam Muslim dalam Shahih-nya mengeluarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas, ia
berkata: “Nabi SAW terjatuh dari kudanya sehingga terkelupas kulit betis beliau
yang sebelah kanan. Kami lalu menjenguk beliau dan waktu shalat pun tiba. Maka
beliau lalu mengimami shalat bersama kami dengan duduk, sedangkan kami tetap
shalat dengan duduk pula. Dan seusai shalat, beliau bersabda:
“Sesungguhnya Imam itu untuk diikuti, oleh sebab itu
janganlah kamu sekalian mendahuluinya. Jika ia takbir, maka takbirlah kamu
sekalian, dan jika ia ruku’,ruku’ pulalah kalian. Dan manakala ia megucapkan
“sami’allahu liman hamidah” maka ucapkanlah:” Allahumma Rabbana lakal hamd”.
Lalu jika ia sujud, maka sujudlah kamu sekalian, dan kalau ia shalat dengan
duduk, maka shalat pulalah kamu sekalian dengan duduk”.
Dengan tiada naskh ini, maka berlaku pendapat Imam
Ahmad bin Hanbal yang mempertemukan dua hadits tersebut dengan
mengemukakan dua alternatif berikut:
Pertama : Manakala imam yang biasa diikuti itu
memulai shalatnya dengan duduk lantaran sakit yang masih bisa diharapkan
kesembuhannya, maka saat itu makmum harus shalat dengan duduk.
Kedua
: Kalau imam yang
diikuti itu sejak semula shalat dengan berdiri, baik dalam kenyataannya nanti
ia shalat dengan duduk ataukah berdiri, lantaran sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya seperti yang
terdapat dalam hadits yang berkenaan dengan sakit beliau menjelang wafatnya. Ketetapan yang diberikan
oleh Rasulullah SAW agar para sahabatnya tetap shalat dengan berdiri di saat
beliau sakit menjelang wafatnya itu, membuktikan bahwa Nabi tidak memerintahkan
mereka shalat dengan duduk, sebab saat itu Abu Bakar memulai shalatnya dengan
berdiri, yang berbeda dengan situasi yang terdapat dalam hadits pertama dimana
shalat itu dimulai dengan duduk, yang karena itu pula di saat para sahabat
shalat dengan berdiri, beliau pun melarangnya.
Sejalan dengan itu, asy-Syaukani menegaskan pendapatnya
dengan mengatakan:
“Mempertemukan kedua hadits itu (al-jam’u)menguatkan pendapat bahwa
secara prinsipil tidak ada naskh
disini, apalagi dalam keadaan ini diberlakukan dua kali naskh, sebab dalam prinsipnya seorang yang mampu shalat sambil
berdiri tidak dibenarkan shalat dengan duduk. Pendapat di atas telah
menidakberlakukan shalat makmum yang duduk di belakang imam yang duduk, lalu
sesudah itu, ia dinaskh pula dengan
hadits lain yang melarang shalat dengan duduk, sehingga terjadi dua kali penidakberlakuan, dan ini jelas tidak
mungkin bisa diterima.
e.
Menerangkan ‘illat (alasan) suatu hukum
Hal seperti ini dapat ditemukan misalnya dalam
hadits yang berkenaan dengan pelarangan Rasulullah SAW terhadap minum air
langsung dari mulut bejana.
Adapun sebabnya adalah : Suatu saat disampaikan
kepada Rasulullah bahwa ada seorang laki-laki minum langsung dari mulut bejana,
lalu ia pun sakit perut (mules-mules). Maka beliau pun lalu melarang minum
langsung dari mulut bejana.
f.
Menjelaskan Kemusykilan
Ini dapat ditemukan dalam hadits berikut ini:
“Barangsiapa yang mempercayai “perhitungan”, niscaya disiksa di hari kiamat”.
Adapun sebab-sebab munculnya hadits ini adalah bahwa
Aisyah meriwayatkan, ia berkata:
“Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang dihisab,
niscaya ia disiksa di hari kiamat. Lalu Aisyah berkata: “Bukankah Allah
berfirman: “Maka ia akan dihitung dengan perhitungan yang mudah”? Dan beliau
menjawab: “Bukan, itu hanya formalitas”. Jadi, “Barangsiapa dihisab, ia akan
disiksa”.
Dari uraian faedah-faedah mempelajari Asbab Wurud Al
Hadits di atas dapat disimpulkan antara lain, sebagai berikut:
1.
Untuk
menolong memahami dan menafsirkan hadits. Sebab sebagaimana diketahui bahwa
pengetahuan tentang sebab-sebab terjadinya sesuatu itu merupakan sarana untuk
mengetahui musabab (akibat) yang ditimbulkannya. Seseorang tidak mungkin
mengetahui penafsiran suatu hadits secara tepat, tanpa mengetahui sebab-sebab
dan keterangan-keterangan tentang latar belakang.
2.
Sebagaimana
diketahui dalam lafadz nash itu kadang-kadang dilukis dalam kata-kata yang
bersifat umum, sehingga untuk mengambil kandungan isinya memerlukan dalil yang
men-takhsiskannya. Akan tetapi dengan diketahui sebab-sebab lahirnya nash itu,
maka takhsis yang menggunakan selain sebab, harus dihilangkan. Sebab memasukkan
takhsis yang terbentuk sebab ini adalah qath’i, sedang mengeluarkan takhsis
sebab, adalah terlarang secara ijma’.
3.
Untuk
mengetahui hikmah-hikmah ketetapan syariat (hukum-hukum)
4.
Untuk
mentakhsiskan hukum, bagi orang yang berpedoman kaidah Ushul-Fiqih “al-‘ibratu bikhusushi’s sabab”
(mengambil suatu ibarat itu hendaknya dari sebab-sebab yang khusus). Biarpun
menurut pendapat Ushuliyun berpedoman dengan “al-‘ibratu bi’umumi’l-lafadh, la bikhususi’s sabab”(mengambil suatu
ibarat itu hendaknya berdasar pada lafadz yang umum, bukan sebab-sebab yang
khusus).
Cara mengetahui Sebab-sebab Lahirnya
Hadits
Di antara maudlu’ pokok dalam ilmu Asbab Wurud Al
Hadits, ialah pembicaraan tentang cara-cara untuk mengetahui sebab-sebab
lahirnya hadits.
Cara-cara mengetahui sebab-sebab lahirnya hadits itu
hanya dengan jalan riwayat saja. Karena tidak ada jalan lain bagi logika.
Menurut penelitian Al Bulqiny, bahwa sebab-sebab
lahirnya hadits itu ada yang sudah tercantum di dalam hadits itu sendiri dan
adapula yang tidak tercantum dalam hadits sendiri, tapi tercantum di hadits
lain.
Menurut
As-suyuthi ada tiga metode dalam mengetahui asbabul wurud:
1. Dengan mengetahui sebab yang berupa
ayat Al-Quran.
2. Sebab yang berupa hadits itu
sendiri.
3.
Sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para
pendengar dikalangan sahabat
Sebagai contoh Asbab Wurud Al Hadits yang tercantum
dalam hadits itu sendiri, seperti hadits Abu Dawud yang tercantum dalam kitab
sunannya, yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al Khudry. Kata Abu Sa’id:
“Bahwa
beliau pernah ditanya oleh seseorang tentang perbuatan yang dilakukan
Rasulullah SAW : ‘Apakah Tuan mengambil air wudhu’ dari sumur Budla’ah, yakni
sumur yang dituangi darah, daging anjing, dan barang-barang busuk’? Jawab
Rasulullah: ‘Air itu suci, tak ada sesuatu yang menjadikannya najis’.”
Sebab Rasulullah saw. bersabda, bahwa air itu suci,
lantaran ada pertanyaan dari sahabat, tentang hukum air yang bercampur dengan
darah, bangkai dan barang yang busuk, yang persoalan itu dilukiskan dalam
rangkaian hadits itu sendiri.
Contoh Asbab Wurud yang tidak tercantum dalam rangkaian hadits itu sendiri, tetapi diketahui
dari hadits yang terdapat di lain tempat yang sanadnya juga berlainan, seperti
hadits Muttafaq-‘alaih tentang niat dan hijrah, yang diriwayatkan oleh Ibnu
‘Umar r.a:
“...Barangsiapa
yang hijrahnya karena untuk mendapatkan keduniaan atau perempuan yang bakal
dinikahinya, maka hijrahnya itu hanya kepada yang diniatkannya saja.”
Asbab Wurud dari hadits tersebut di atas, kita
temukan pada hadits yang di takhrijkan oleh At-Thabrany yang bersanad tsyiqoh dari
Ibnu Mas’ud r.a ujarnya:
“Konon pada jama’ah kami terdapat seorang laki-laki
yang melamar seorang perempuan yang bernama Ummu Qais. Tetapi perempuan itu
menolak untuk dinikahinya, kalau laki-laki pelamar itu enggan berhijrah ke
Madinah. Maka ia lalu hijrah dan kemudian menikahinya. Kami namai laki-laki
itu, Muhajir Ummi Qais.”
Pembagian Asbab Wurud Al Hadits
Dengan mengikuti uraian tentang Asbab Wurud
munculnya suatu hadits, dapat disimpulkan bahwa penyebab-penyebab itu terbagi
dalam beberapa bagian berikut ini:
Bentuk
Pertama: Berupa Ayat
Al Qur’an
Hal ini disebabkan turunnya ayat-ayat Al
Qur’an yang memiliki bentuk umum, namun yang dikehendaki oleh ayat itu adalah
makna khusus semisal yang terdapat dalam firman Allah ini:
“Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampur adukkan keimanan mereka dengan kedzaliman,
mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan, dan mereka itulah orang-orang
yang mendapat petunjuk.” (QS Al An’am:82)
Sementara sahabat Rasulullah saw memahami ayat ini
dengan menganggap bahwasanya yang dimaksud dengan “zhulm” (dzalim) di situ
adalah aniaya dan melanggar batas ajaran agama. Lantaran itulah mereka lalu
mengadu kepada Rasulullah saw, maka beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan itu adalah “syirik” (menyekutukan Allah).
Imam
Al Bukhari, Muslim, Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Imam Malik dalam Al
Muwatha’ meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud:
“Ketika
turun ayat: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan keimanan
dengan kezhaliman...”(QS Al An’am:82 di atas), maka para sahabat merasa berat
dan berkata: “Siapa pula diantara kita yang tidak merasa mencampur adukkan
keimanan dengan kedzaliman?” Lalu Rasulullah mengatakan: “Bukan itu maksudnya,
tidakkah kamu sekalian pernah mendengar ucapan Luqman kepada puteranya bahwa:
sesungguhnya syirk itu adalah kedzaliman yang amat besar” (QS. Luqman:13)
Atau lantaran adanya kemusykilan yang membutuhkan
penjelasan, semisal hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah terdahulu.
Bentuk
kedua : Berupa Hadits
Ini dapat ditemukan dalam ucapan Rasulullah saw yang
sulit dipahami oleh sementara sahabat, lalu beliau menjelaskannya melalui
hadits lain yang menjawab kemusykilan itu. Untuk menjelaskan hal itu
dikemukakan sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Al Hakim dari Anas ra. Katanya:
“Sesungguhnya Allah mempunyai
malaikat-malaikat di dunia yang berbicara melalui lisan anak-cucu Adam tentang
apa yang baik dan buruk dalam diri seseorang.”
Hadits
yang bentuk redaksinya seperti ini sangat sulit dipahami, sebab bagaimana cara
malaikat itu berbicara di dunia tentang baik dan burunya seseorang. Oleh sebab
itu, sebab-sebab munculnya hadits lain di bawah ini, mengandung maksud
menjelaskan kemusykilan itu.
“Dari Anas ra. Katanya: Tatkala ada prosesi jenazah lewat dihadapan beliau dan para sahabat
memuji-muji kebaikan orang yang meninggal itu. Maka Rasulullah saw berkata:
“Ya, mesti demikian, mesti demikian, mesti demikian.”. Lalu lewat pulalah
jenazah yang lain dan para sahabat
membicarakan kejelekan orang yang meninggal itu. Maka Rasulullah saw pun
berkata pula:”Ya, mesti demikian, mesti demikian, mesti demikian.”
Mendengar itu para sahabat lalu bertanya kepada
beliau: “Ya Rasulullah apa makna ucapan tuan tentang jenazah tadi? Ketika yang
seorang dipuji kebaikannya dan seorang lagi disebut-sebut keburukannya, tuan
mengatakan: Ya, mesti demikian, mesti demikian, mesti demikian.”
Maka Rasulullah saw menjawab:
“Memang benar Ya Abu Bakar, Sesungguhnya Allah
mempunyai malaikat-malaikat di dunia yang berbicara melalui lisan anak-cucu
Adam tentang apa yang baik dan buruk dalam diri seseorang.”
Bentuk
Ketiga: Merupakan persoalan yang berkenaan dengan
penjelasan bagi para sahabat yang mendengarkan saat itu.
Ini dapat ditemukan misal dalam persoalan yang
berkenaan dengan As Suraid yang datang kepada Rasulullah saw ketika pembebasan
kota Makkah (Fath Makkah) lalu berkata kepada beliau: “Saya bernadzar manakala
Allah memberikan keberhasilan kepada tuan dalam membebaskan kota Makkah, saya
akan shalat di Baitul Maqdis”. Mendengar itu Rasulullah pun berkata: “Shalat di
sini jauh lebih baik”. Kemudian beliau mengatakan:
“Demi dzat yang diriku berada dalam
kekuasaan-Nya, kalau seandainya engkau shalat di mesjid ini, niscaya
diperbolehkan”. Lalu selanjutnya beliau berkata pula: “Shalat di mesjid ini
(Masjidil Haram) seratus ribu kali lipat lebih baik dibanding shalat di
mesjid-mesjid lain.”
Bila
ditinjau dari kaitan dan terpisahnya hadits satu sama lain, maka “Wurud al
Hadits” ini dapat dibagi dalam dua jenis:
§
Bila
Asbab Wurud al Hadits ini bersambung dengan haditsnya, maka ia dinukil dari
hadits itu. Tentang ini, Al Balqini mengatakan mengatakan: semisal hadits yang
berkenaan dengan pertanyaan malaikat Jibril.
§
Bila
“Wurud al Hadits” nya terpisah dari hadits itu, maka ia dinukil melalui jalan
yang lain. Tentang ini Al Balqini mnegatakan pula : Dan keadaan semacam inilah
yang mesti diperhatikan dengan cermat. Lalu dicontohkannya hadits “al-kharaj” (pajak tanah) dengan adh-dhiman (jaminan
Sejarah
Asbab Wurud Al Hadits
Memperhatikan atsar
(data) yang diperoleh dari para ulama salaf, semenjak masa sahabat sampai masa
kita dewasa ini, jelaslah sudah bahwa ilmu itu terhitung telah lama ada
Kuat
dengan bahwasanya ilmu ini telah ditanamkan benih-benihnya di masa sahabat dan
tabi’in.
Kisah
yang dituturkan oleh Az Zarkasyi dalam al Burhan-nya yang berkenaan dengan
firman Allah: “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal sholeh lantaran telah memakan makanan mereka dulu” (QS Al Maidah: 92)
makin memperjelas kenyataan itu .
Az Zarkasyi menuturkan, disebut –sebut bahwa Qudamah
bin Mazh’un dan Amr’ bin Ma’dikarib berkata: Khamr itu mubah dan mereka berdua
beralasan dengan ayat tersebut di atas yang mereka ketahui sebab turunnya ayat
tersebut, yang sesungguhnya menolak pendapat mereka yakni, apa yang dikemukakan
oleh al Hasan dan ulama lainnya berikut ini:
“Di
saat turun ayat yang mengharamkan khamr, para sahabat bertanya-tanya: “Bagaimana halnya dengan
saudara-saudara kita yang telah meninggal dan mereka pernah minum khamr,
sedangkan Allah telah mengemukakan bahwa
khamr itu haram”. Maka Allah pun menurunkan ayat:” Tidak ada dosa bagi
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih lantaran telah
memakan makanan mereka dulu” (QS. Al Maidah:92)
Bertolak dari riwayat tersebut, maka jelaslah
kebenaran pernyataan As Sayuthi, yakni bahwasanya objek kajian ini merupakan
salah satu di antara Ilmu-ilmu Hadits yang sejak awal telah memperoleh
perhatian baik dari para ulama.
Mengenai kapan dimulainya penyusunan buku-buku yang
berkenaan dengan masalah ini, maka hal itu merupakan suatu persoalan yang hanya
dapat kita jawab melalui referensi-referensi yang mat langka sekali, sebab Thas
Kubri Zadah penulis kitab Miftah al
Sa’adah menuturkan bahwa ada beberapa karya tulis dalam disiplin ilmu ini,
namun ia sendiri belum pernah melihatnya.
Hanya saja, As Sayuti menuturkan dengan menukil adz
Dzahabi dan Ibnu Hajar yang menyatakan adanya beberapa obyek ini, yakni:
1.
Karya
Abi Hafsh al Akbari (wafat 399 H) yang sampai saat ini belum diketahui
sdikitpun kecuali hanya namanya saja.
2.
Karya
Abu Hamid Abdul Jalil al Jubari yang juga sampai saat ini hanya diketahui
namanya saja.
Dalam point yang dikemukakan oleh As Sayuti yang
berkenaan dengan jenis-jenis ilmu, yakni dalam “jinis ke-89” disebut-sebut ilmu
“Asbab Wurud al Hadits” (Sebab Lahirnya sebuah Hadits): Cabang ilmu ini
disebutkan al Balqini dalam Mahasin al
Ishtilah dan oleh Syeikhul Islam
dalam an-Nukhah, dimana dalam ilmu
ini ada karya Abu Hafs al Akbari dan Abu Hamid bi Kutah al Jubari, dan tidak
ada yang lebih tua lagi dari karya itu.
3.
Karya
As Sayuti, al- Luma’ Fi Asbab Wurud al
Hadits, yakni risalah yang kami edit dan kaji ini.
4.
Karya
Abi Hamzah al Dimayqi, al Bayan Wa
at-Ta’rif Fi Asbab Wurud al Hadits asy-Syarif.